Tuesday, July 20, 2010

EM FORUM

EDISI II


Kamis, 12 Februari 2009

EDISI I

Edisi III

Senin, 15 Desember 2008

Forum Usaha


Melirik Usaha Penggemukan Domba

Permintaan yang tinggi dan mudahnya perawatan, membuat usaha penggemukan domba bertambah maju. Pemiliknyapun tak segan-segan membicarakan keberhasilannya memelihara ternak domba baik kepada masyarakat maupun dinas-dinas peternakan kota tersebut.

Pag-pagi buta, saat mentari belum menampakkan sinarnya, lelaki separuh baya tengah asik memilih domba di pasar hewan Martoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Bak seorang makelar, pria yang dulunya pernah menjadi juragan tembakau yang tergilas permainan pasar ini, mulai kasak-kusuk mencari domba yang akan di jual. Beda dengan pembeli lainnya, pria bersahaja ini, justru mencari domba yang perawakan kurus dan tentunya, dengan harga yang murah.
Setelah beberapa domba terbeli, domba-domba tersebut dibawa pulang untuk dirawat, dibesarkan, lalu dijual kembali setelah tiga bulan berselang dengan harga yang lumayan tentunya.
Matkadari, asal Desa Ngelondong, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah memang belum lama menekuni usaha penggemukan domba. Bukan sekedar coba-coba tetapi usaha yang ditekuninya itu, penuh dengan perhitungan yang matang. Saat ini ia melihat, bisnis penggemukan domba masih kurang tergarap secara serius, sementara permintaan domba terus meningkat.
Padahal, Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah dengan populasi ternak kambing atau domba tertinggi dibandingkan provinsi lain. Berdasarkan data yang diolah dari Departemen Pertanian tahun 2003, daerah yang populasinya paling padat dan cocok untuk mengembangkan sumber bibit dan bakalan kambing secara berturut-turut adalah Jawa Tengah.
Selama ini, perkembangan produksi dan produktivitas domba hampir tidak mengalami kemajuan berarti, kebanyakan dipelihara apa adanya tanpa perencanaan yang jelas untuk lebih berkembang, produktif, dan menguntungkan.
Menurut data yang sama, konsumsi daging domba di beberapa negara baik asia, eropa dan amerika terus meningkat. Belum lagi di dalam negeri sendiri, apalagi kebutuhan hewan qurban yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. ‘’Karena itulah saya melihat usaha penggemukan domba ini sangat prospektif di tahun yang akan datang,’’katanya.
Memulai usaha penggemukan domba, pria yang rajin berkumpul pada pertemuan KTNA di Kabupaten Temanggung ini, banyak di suppot rekannya-rekannya yang terlebih dulu memiliki usaha penggemukan domba. Terutama mereka yang menggunakan teknologi EM4 Peternakan. ‘’Hampir disetiap kesempatan saya belajar dengan Pak Abi yang sudah terlebih dulu usaha penggemukan domba menggunakan teknologi EM4 Peternakan dan hasilnya sangat luas bisa,’’katanya.
Melihat keberhasilan usaha Abi inilah, Kadari memutuskan untuk mengembangkan usaha penggemukan domba dengan teknologi asal Jepang tersebut. ‘’Ada beberapa keuntungan yang sangat mencolok jika menggunakan EM4. Pertama, bisa memangkas biaya produksi. 1 ekor ternak hanya Rp. 1000 perhari atau 90.000 per 3 bulan (sampai dijual). Selama 3 bulan, berat ternak bertambah antara 15 – 20 kg. Kedua, dengan menggunakan EM4, ternak tidak mudah terserang penyakit.. Ketiga, sangat efektif untuk sanitasi sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar serta menghasilkan pupuk organik yang berkualitas,’’katanya.
Menurut Kadari, awalnya hanya memelihara 5 ekor domba, kemudian 30 ekor, 45 ekor dan terakhir saya memiliki 75 ekor, mau sedikit atau banyak sama saja, pokoknya dengan EM4 segalanya menjadi mudah.
Untuk tahun depan, Kadari sudah menargetkan memelihara ternak lebih banyak lagi, hingga mencapai 300 ekor lebih.’’Saya akan buktikan kepada warga desa dan juga se Kabupaten Temanggung, beternak domba bukan sesuatu yang sulit tetapi sesuatu yang menyenangkan serta memberikan keuntungan yang sangat luar biasa.’’katanya.
Masyarakat di desa ini, lanjut Kadari banyak yang beternak kambing dan domba dan mereka sepertinya kewalahan mengurusinya karena harus mencari pakan setiap hari dan biaya yang tinggi. ‘’Saya memiliki usaha ini masih bisa ‘kongko-kongko’, pokoknya tidak membutuhkan waktu banyak untuk mencari pakan dan biaya produksi sangat minim sehingga masih bisa mengerjakan pekerjaan lain seperti bercocok tanam dan lain sebagainya. Kuncinya itu cukup dengan menggunakan teknologi EM4,’’katanya.
Dengan keberhasilan usaha penggemukan domba dengan aplikasi EM4, usaha Kadari banyak dilirik masyarakat dan dinas-dinas peternakan Kabupaten Temanggung yang berminat menggunakan EM4 baik untuk pakan, minuman ternak, jamu ternak dan juga sanitasi. ‘’ Saya juga memberikan penyuluhan ke peternak lain, tentang bagaimana aplikasi EM4 serta kegunaannya. Dan Alhamdulillah, masyarakat menyambut baik usaha ini,”katanya bangga. (A)

Forum EM


EM Perikanan dan Tambak
Perbaiki Budidaya Tambak Udang


Budidaya tambak udang bukan sesuatu yang mudah. Salah urus, bisa-bisa udang yang dipelihara mati sebelum dipanen. Kini saatnya, petambak memperbaiki sistem budidaya udang dengan menggunakan teknologi EM Perikanan dan Tambak.

Dewasa ini semakin banyak ditemukan kegagalan-kegagalan panen dalam budidaya tambak udang akibat terganggunya ekosistem lingkungan air dan tanah dasar tambak akibat pembusukan sisa-sisa pakan, kotoran dan tubuh udang yang mati.
Pola aplikasi tambak dengan teknologi Effektif Microorganisme (EM4) pengolahan tambak, merupakan solusi memperbaiki sistem budidaya tambak, baik tambak dengan sistem tradisional, intensif maupun polikultur yang selama ini, tengah resah mencari jawaban problem yang dihadapinya. Persoalan yang dihadapi itu misalnya, pertumbuhan udang yang lambat, daya tahan yang lemah serta mudahnya terserang penyakit hingga mengalami kematian.
Teknologi EM pengolahan tambak adalah kultur campuran cair mikroorganisme terdiri dari lima kelompok mikroorganisme yaitu bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus Spp), Actinomycetes, Streptomyces sp, jamur fermentasi (Aspergillus, sp) dan ragi atau yeast (sacharomyces sp).
Mikroorganisme pada EM pengolahan tambak yang bisa diaplikasikan pada perikanan air tawar ini, berfungsi memfermentasi bahan organik menjadi senyawa – senyawa organik yang tidak beracun. Mengubah proses pembusukan bahan organik menjadi proses fermentasi.
H. Fathoni (65) asal Indramayu, adalah petambak yang tergabung dalam binaan PT. Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan Indramayu ini, sangat welcome dalam penerapan teknologi EM4. Pasalnya, sudah berkali-kali budidaya tambaknya selalu gagal karena pertumbuhan udang sangat lambat, sering terserang penyakit dan sangat sulit meningkatkan produksi. Kondisi ini juga dialami oleh hampir seluruh petambak di kabupaten yang terkenal dengan buah mangga Indramayu tersebut.

Aplikasi EM Pengolahan Tambak
Untuk mengolah tambak dengan teknologi EM4, langkah pertama adalah pengeringan tambak agar tanah dasar tambak terjemur sinar matahari, pengeringan ini bertujuan agar hama seperti siput, tiram, srindit, dan bakteri penyebab penyakit mati, serta untuk memperbaiki reaksi bio-kimiawi tanah (Redoks) berlangsung dengan baik.
Kemudian, pengangkatan tanah dasar dan perbaikan bangunan tambak bertujuan agar tanah dasar yang penuh dengan sisa bahan organik diangkat dan ditaruh diatas pematang dan perbaikan bangunan tambak. Selanjutnya areal tambak dijemur 2 – 3 hari, kemudian di cek pH tanah dasar untuk menentukan dosis pengapuran. Selanjutnya dilakukan penyuburan lahan tambak, untuk meningkatkan jumlah pakan alami, pemupukan ini dilakukan dengan mempergunakan pupuk organik (bokashi).
Perlakukan saat pemeliharaan (pengolahan air), EM sangat diperlukan. Begitu juga saat pergantian air, perlakukan saat pemberian pakan (disemprotkan ke dalam pakan).


Dari hasil penelitian yang dilakukan tim Ahli PT. Songgolangit pada lahan tambak milik H. Fathoni, dapat diketahui EM4 dapat mengatasi pencemaran air akibat akumulasi limbah organik.
Dalam budidaya organik, pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan pestisida alami, seperti saponin yang berasal dari bungkil teh. Umumnya kandungan saponin dalam bungkil teh di Indonesia berkisar antara 10 – 15%, saponin inilah yang digunakan sebagai racun dan dosis penggunaannya antara 150 - 200 kg per ha. Penggunaan saponin ini akan efektif pada siang hari sekitar pukul 12.00 – 14.00, daya racunnya akan meningkat dengan naiknya salinitas
Keuntungan lain menggunakan teknologi EM4, dapat meningkatkan daya tahan, memfermentasikan sisa pakan, kotoran dan cangkang yang terdapat di dasar tambak, juga mengurai gas amoniak, methan dan hidrogen sulfida yang dapat mengganggu kehidupan udang.
EM4 juga mampu meningkatkan oksigen terlarut (DO) sehingga air menjadi bersih dan tidak perlu penggantian air berulang-ulang karena kualitas air tetap terjaga serta aman bagi lingkungan.
Untuk mendongkrak hasil produksi, syaratnya air dalam tambak harus terhindar dari pencemaran bahan kimia. Sementara mengatasi pencemaran air sendiri kuncinya hanya dengan teknologi EM pengolahan tambak. Kenapa? Karena EM berperan sebagai stabilisator lingkungan tanah dasar tambak yang berlangsung secara alami akibat proses fermentasi. Untuk itu, teknologi EM sangat tepat diterapkan untuk menanggulangi masalah tersebut. (A)

Forum Utama




Biasakah Produksi Tambak Udang Meningkat?

Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat luar biasa dalam ekspor tambak udang ke Jepang, Eropa dan Amerika. Namun sayangnya, beberapa petambak merasa takut karena resiko kegagalan selalu membayangi. Di sisilain, sebagian petambak, mulai enjoy menikmati hasil tambak yang berlimpah.

Arief Haryono, salah satu petambak yang masih bertahan di Desa Tegal Cangkring, Jimbrana, Kabupaten Negara, Bali. Ia terkenal petambak yang ulet pantang menyerah. Bahkan ia rela harus tidur di areal tambaknya untuk memanen tambak udang. yang baru berumur 101 hari, rata-rata size 45 tiap kilogramnya.
Memang secara keseluruhan usaha budidaya tambak terutama di kawasan pulau dewata, boleh dibilang mulai bergairah setelah sekian lama mati suri akibat terserang penyakit akibat penggunaan anti biotik yang berlebihan. Tak hanya di Bali, kondisi ini juga terjadi di seluruh wilayah Indonesia terutama di pulau Jawa..
Padahal, produksi udang sempat menjadi primadona pada tahun 1980-an khususnya dari spesies udang windu (Penaeus monodon ) yang terus menurun hingga tahun 1990-an. Jenis udang windu mulai jarang dibudidaya oleh petambak sekarang ini. Mereka beranggapan sangat beresiko mengalami kematian pada usia yang masih muda, terserang penyakit white spot, bintik putih dan virus lainnya.
Kemudian petambak lebih suka membudidaya udang jenis vannamei (Penaeus vannamei) atau lebih dikenal dengan udang putih karena dianggap lebih tahan penyakit, sesuai program Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bagian revitalisasi sektor perikanan. Namun kenyataannya di lapangan, vannamei pun tak luput dari masalah sama yakni mulai dihinggapi penyakit.
Penyakit yang selalu menghinggapi udang itu menurut Dr. Sukenda, ahli mikrobiologi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIP IPB) disebabkan penurunan kualitas air dan kerusakan sedimen. Penurunan kualitas air dan kerusakan sedimen itu terjadi akibat tingginya kandungan bahan nitrogen anorganik, senyawa organik karbon, dan sulfida.
Pemakaian antibiotik yang berlebihan inilah, penyebab bakteri pathogen menjadi kebal. Bukannya memberantas patogen malah meningkatkan resistensi dari patogen hingga solusi pengobatan apapun menjadi tidak efektif.
Penumpukan senyawa kimia itu berasal dari sisa pakan, kotoran udang, serta pemupukan jangka panjang. Kondisi itu mempengaruhi kandungan senyawa amoniak, nitrit, nitrat, hidrogen sulfida, dan senyawa karbon yang bersifat toksik pada sistem tambak udang.
Petambak pun akhirnya perlahan mulai meninggalkan budidya udang ini, karena kurang menguntungkan. Bahkan tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan. Ini akibat petani tambak yang terlalu mengejar hasil berlimpah tetapi malah sebaliknya.

Bioteknologi Diperlukan
Karena penumpukan bahan berbahaya, dibutuhkan bioteknologi untuk mengubah tumpukan bahan organik tersebut. ‘’Nah, di sinilah probiotik berperan.,” jelas praktisi pertambakan yang tergabung dalam Asosiali Produsen Organik Indonesia (APOI). Ir. Tri Haryadi.
Menurut Tri, penggunaan probiotik di tambak sangat bergantung pada tujuannya. Jika ingin memperbaiki dasar tambak, dipilih probiotik berisi bakteri yang mampu mereduksi H2S, amoniak, dan nitrifikasi bakteri, terkait dengan fungsinya sebagai pengurai. Sedangkan petambak yang ingin menekan pertumbuhan bakteri phatogen misalnya, menggunakan probiotik yang bersifat biokontrol.
Sekarang ini kata Tri, banyak petambak mulai mengembangkan sistem budidaya polikultur organik yakni suatu sistem budidaya yang mengandalkan bahan alami dalam siklus budidayanya. Jadi dalam satu lahan tambak ada tiga komoditi yakni rumput laut (gracilaria), udang dan bandeng.
Cara ini membina hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) sehingga tidak lagi diperlukan faktor luar seperti pemberian pakan pabrikan maupun pestisida yang dapat membahayakan lingkungan.
Rumput laut penyuplai oksigen untuk perairan sehingga jumlah oksigen terlarut dapat terjaga dan terjamin. Selain sebagai tempat sembunyi bagi udang dan bandeng serta tempat berkumpulnya plankton, rumput laut ini memainkan peran sebagai biofilter pada perairan tambak.
Di dalam budidaya perikanan organik, penambahan obat-obatan, pestisida kimia, pakan pabrikan harus diminimalkan, tujuannya tidak lain agar produk yang dihasilkan bebas dari residu bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan teknik alami dan ramah lingkungan diprioritaskan, mulai dari pemberian pakan, penanganan dan pengamanan lokasi budidaya sampai dengan pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit.’’Dan peran probiotik dapat mengurangi pemakaian bahan kimia dan antibiotik,’’katanya.
Budidaya perikanan organik sudah banyak dilakukan petambak di Indonesia. Di kawasan Sumatera tepatnya di Desa Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sudah menerapkan sistem budidaya ini dan hasilnya sangat menggembirakan.
Begitu juga di Desa Rengasdengklok Utara, Kec. Rengasdengklok, Kab. Karawang, Jabar, disponsori petambak H. Endi Muchtarudin, yang berhasil memanen udang windu sebanyak 22 ton dari 11 petak tambak miliknya. Keberhasilan lulusan Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta ini, tak lepas dari bioteknologi yang diterapkannya, yakni pengelolaan air sistem tertutup (closed system) dan penggunaan probiotik tambak dengan sistem polikultur organik.(A)

Minggu, 14 Desember 2008

Salam Redaksi


Bioteknologi Tambak Udang

Sebenarnya Indonesia bisa kembali bersaing dengan Negara Vietnam, Thailand dan Cina dalam pencapaian target ekspor udang ke Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara tujuan ekspor udang lainnya, asalkan industri perikanan nasional berkomitmen, menghasilkan produk perikanan yang bebas antibiotik seiring dikeluarkannya persyaratan atau standar mutu oleh badan dunia agar produk perudangan Indonesia tidak mengandung antibiotik lebih dari 1 part per billion (ppb) atau 1 miligram per ton antibiotik.
Di kalangan petambak udang, antibiotik digunakan untuk menyehatkan udang. Biasanya, jika udang sudah terlihat tidak sehat, benih langsung diberikan antibiotik dan udang pun menjadi sehat kembali.
Lalu kenapa antibiotik untuk udang dianggap sangat berbahaya bagi kesehatan manusia? Karena badan dunia menganggap, residu antibiotik pada udang bisa menimbulkan penyakit anemia. Dan jika berkadar tinggi bisa menyerang sel darah merah dan darah putih pada tubuh manusia.
Penggunaan antibiotik seperti nitrofurans juga mengakibatkan kanker dan cacat janin. Sedangkan chloramhenicol dapat menghambat sintesis protein pada bakteri. Bakteri relatif mudah menjadi resisten terhadap antibiotik, mencemari lingkungan, menekan daya tahan, dan pertumbuhan tambak udang. Selain itu, antibiotik juga mengandung residu dan tidak efektif untuk virus.
Karena itu, penggunaan antibiotik secara berlebihan dan serampangan pada budidaya udang harus dihentikan. Selain mengganggu kesehatan manusia, perudangan Indonesia terancam embargo dari negara-negara yang selama ini mengkonsumsi udang dari tanah air.
Jika tidak ingin kehilangan potensi pasar ekspor udang dunia, sudah seharusnya industri perikanan nasional berbenah diri untuk tidak mengecewakan negara importir yang sudah sekian lama mempercayai Indonesia sebagai produsen udang dunia.. Dan kini sudah saatnya, Indonesia mengembangkan bioteknologi untuk budidaya udang dan perikanan lainnya guna menekan pemanfaatan antibiotik untuk pemeliharaan kesehatan bagi satwa perairan tersebut.
Pengembangan teknologi tersebut antara lain dilakukan dengan menumbuh suburkan bakteri yang dapat memfermentasi atau mengurai aneka jenis kotoran yang menjadi sumber penyakit bagi tambak udang. Penghapusan penggunaan antibiotik tersebut selain dilakukan melalui penerapan bioteknologi, juga beberapa cara lain seperti peningkatan mutu air dan lingkungan tempat dilakukannya budidaya.
Tentunya, tak hanya menjadi tugas pemerintah atau Asosiasi Pembenihan Udang Indonesia (APUI), Asosiasi Perusahaan Pakan Udang Indonesia (APPUI), Shrimp Club Indonesia (SCI), Himpunan Penangkapan Udang Indonesia (HPPI), dan Asosiasi Pengusaha Cold Storage Indonesia (APCI), tetapi menjadi tugas bersama termasuk petambak di daerah masing-masing yang tersebar di seluruh Indonesia.
Perlu diketahui, udang merupakan salah satu komoditas ekspor cukup besar bagi Indonesia. Untuk itu, diperlukan penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan dalam pembudidayaan udang tersebut.

sumber : http://emforum-indonesia.blogspot.com/